Tuesday, 30 June 2015

REVOLUSI MENTAL




Gagasan ‘revolusi mental’ menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalis, mindset, dan segala bentuk praktek buruk yang sudah mendarah daging sejak zaman orde baru hingga sekarang.  Namun, tidak sedikit pula yang mencibir gagasan ini sebagai ide komunistik.
Gagasan revolusi mental, sebagai usaha memperbaharui corak berpikir dan bertindak suatu masyarakat, bisa ditemukan diideologi dan agama manapun. Dalam islampun ada gagasan revolusi mental, yakni konsep ‘kembali ke fitrah’ : kembali suci atau tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk komunis atau ideologi-ideologi yang berafiliasi dengan marxisme.
Namun, terlepas dari polemik itu, Pemilu Presiden (Pilpres 2014) ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya berhasil mencuatkan kembali nama dan figur Bung Karno, tetapi juga berhasil mempopulerkan kembali gagasan-gagasan revolusi nasional Indonesia. Salah satunya revolusi mental.
Dalam revolusi nasional indonesia, gagasan revolusi mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional indonesia.
Sebelum mengulas esensi revolusi mental versi Bung Karno, kita perlu mengenal konteks sosial-historis yang melahirkan gagasan Bung Karno tersebut. Sebab, tanpa mengenal konteks sosial-historisnya, kita juga bisa menangkap esensi dan tujuan dari gagasan tersebut.
Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno dipertengahan tahun 1950-an. Tepatnya ditahun 1957. Saat itu revolusi nasional indonesia sedang ‘mandek’. Padahal tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
Ada beberap faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.
Kedua, banyak pemimpin politik indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berfikir meniru penjajahan belanda). Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangk menuntaskan revolusi nasional.
Sementara dikalangan rakyat indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) dihadapan penjajah.
Ketiga, terjadi penyelewengan-penyelewengan dikalangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berfikir liberal, statis, dan textbook-thinker (berfikir berdasarkan apa yang dituliskan di halaman buku-buku).
Dilapangan ekonomi, hingga pertangahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagianbesar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikudasi.
Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelolah sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.
Dilapangan politik, indonesia kala itu mengadopsi demokrasi liberal yang berazazkan “free fight liberalism”. Alam politik liberal itu menyuburkan prilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa kita dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!’ keluh Bung Karno.
Demokrasi libral ini juga menyebabkan ketidakstabilan politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam periode demokrasi liberal antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi tujuh kali penggantian pemerintahan atau kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan fundamentalisme juga menguat kala itu.
Bung Karno menyebut demokrasi liberal sebagai “hantam kromo”, bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Disini Bung Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan pendapat dan melancarkan kritik. Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah punya batas, yakni kepentingan rakyat dan keselamatan negara.
Dilapangan kebudayaan merebak penyakit individualisme, nihilisme, dan sinisme. Kebudayaan tersebut membunuh kepribadian nasional bangsa indonesia yang berdasarkan kolektivisme dan gotong royong. Tidak hanya itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri kepada rakyat indonesia dalam bertindak dan berbuat.
Itulah yang dihadapioleh revolusi nasional saat itu. Dan dimata Bung Karno, senagian rintangan terhadap revolusi diatas bersumber pada corak berfikir dan bertindak yang bertolak belakang dengan semangat kemajuan. Jadi, revolusi mental ala Bung Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi-politik jaman itu. Revolusi mentalnya juga tidak diisolir dari perjuangan mengubah struktur ekonomi-politik kala itu.
Karena itu, Bung Karno menyeruhkan perlunya “revolusi mental”. Dia mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu revolusi mental”.
Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berfikir, cara kerja atau berjuang, dan cara hidup agar selaras   

No comments:

Post a Comment