Gagasan ‘revolusi mental’ menggoda banyak orang. Bagi
mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalis, mindset, dan
segala bentuk praktek buruk yang sudah mendarah daging sejak zaman orde baru
hingga sekarang. Namun, tidak sedikit
pula yang mencibir gagasan ini sebagai ide komunistik.
Gagasan revolusi mental, sebagai usaha memperbaharui corak
berpikir dan bertindak suatu masyarakat, bisa ditemukan diideologi dan agama
manapun. Dalam islampun ada gagasan revolusi mental, yakni konsep ‘kembali ke
fitrah’ : kembali suci atau tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk
komunis atau ideologi-ideologi yang berafiliasi dengan marxisme.
Namun, terlepas dari polemik itu, Pemilu Presiden (Pilpres
2014) ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya berhasil mencuatkan kembali
nama dan figur Bung Karno, tetapi juga berhasil mempopulerkan kembali
gagasan-gagasan revolusi nasional Indonesia. Salah satunya revolusi mental.
Dalam revolusi nasional indonesia, gagasan revolusi mental
memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan
pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi
aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional indonesia.
Sebelum mengulas esensi revolusi mental versi Bung Karno,
kita perlu mengenal konteks sosial-historis yang melahirkan gagasan Bung Karno
tersebut. Sebab, tanpa mengenal konteks sosial-historisnya, kita juga bisa
menangkap esensi dan tujuan dari gagasan tersebut.
Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno
dipertengahan tahun 1950-an. Tepatnya ditahun 1957. Saat itu revolusi nasional
indonesia sedang ‘mandek’. Padahal tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
Ada beberap faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek.
Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku
revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang
biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua
orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan
sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.
Kedua, banyak pemimpin politik indonesia kala itu yang masih
mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya
berfikir meniru penjajahan belanda). Penyakit mental tersebut mencegah para
pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam
rangk menuntaskan revolusi nasional.
Sementara dikalangan rakyat indonesia, sebagai akibat
praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan
kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) dihadapan penjajah.
Ketiga, terjadi penyelewengan-penyelewengan dikalangan
ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu
oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan
sendiri. Juga dipicu oleh alam berfikir liberal, statis, dan textbook-thinker
(berfikir berdasarkan apa yang dituliskan di halaman buku-buku).
Dilapangan ekonomi, hingga pertangahan 1950-an,
sektor-sektor ekonomi indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing
lainnya. Akibatnya, sebagianbesar kekayaan nasional kita mengalir keluar.
Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur
ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikudasi.
Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu
diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit
rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, indonesia yang baru
merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelolah sendiri kekayaan
alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat
dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.
Dilapangan politik, indonesia kala itu mengadopsi demokrasi
liberal yang berazazkan “free fight liberalism”. Alam politik liberal itu
menyuburkan prilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan
kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa
kita dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!’ keluh
Bung Karno.
Demokrasi libral ini juga menyebabkan ketidakstabilan
politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam periode demokrasi liberal
antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi tujuh kali penggantian pemerintahan atau
kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan fundamentalisme juga menguat
kala itu.
Bung Karno menyebut demokrasi liberal sebagai “hantam
kromo”, bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Disini Bung
Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan pendapat dan melancarkan kritik.
Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah punya batas, yakni kepentingan
rakyat dan keselamatan negara.
Dilapangan kebudayaan merebak penyakit individualisme,
nihilisme, dan sinisme. Kebudayaan tersebut membunuh kepribadian nasional
bangsa indonesia yang berdasarkan kolektivisme dan gotong royong. Tidak hanya
itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa
pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri kepada rakyat indonesia dalam
bertindak dan berbuat.
Itulah yang dihadapioleh revolusi nasional saat itu. Dan
dimata Bung Karno, senagian rintangan terhadap revolusi diatas bersumber pada
corak berfikir dan bertindak yang bertolak belakang dengan semangat kemajuan.
Jadi, revolusi mental ala Bung Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks
ekonomi-politik jaman itu. Revolusi mentalnya juga tidak diisolir dari
perjuangan mengubah struktur ekonomi-politik kala itu.
Karena itu, Bung Karno menyeruhkan perlunya “revolusi
mental”. Dia mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara,
terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala
godaan-godaannya itu, diperlukan satu revolusi mental”.
Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan
cara berfikir, cara kerja atau berjuang, dan cara hidup agar selaras
No comments:
Post a Comment