1. Pengertian
Kebijakan Sosial dan Analisis Kebijakan Sosial
Keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain
ditentukan oleh kualitas pelayanan langsung yang bersifat mikro juga
dipengaruhi oleh sistem dan arah kebijakan sosial yang bersifat makro.
Kebijakan sosial tersebut sangat menentukan tipe, jenis, sistem dan pendekatan
pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Pengetahuan mengenai
analisis kebijakan sosial sangat penting untuk menentukan apakah suatu
kebijakan tersebut memiliki dampak positif atau negatif terhadap masyarakat,
apakah kebijakan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan apakah
kebijakan tersebut mampu merespon masalah-masalah sosial yang dirasakan oleh
masyarakat.
a. Pengertian Kebijakan Sosial
Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini
disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata
‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri
dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata
‘sosial’ (social). Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya
kita diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya.
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah
ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena
kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan
sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997).
Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara
terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’
pun memiliki beragam pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata
sosial ke dalam 5 pengertian:
Kata sosial
mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan
kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya,
kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.
·
Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam
hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau
suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas
(community).
Kata sosial
sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda
atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia
yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan
gedung, jalan, jembatan.
Kata sosial sebagai
lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan
aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter,
swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial.
Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa
uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan
Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk
mencari keuntungan ekonomi.
Kata sosial
berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi (human right) dan hak
sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan,
pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam menyatakan pendapat, atau berpartisipasi
dalam pembangunan.
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata
sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996).
Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang
atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks
masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup
antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau
pertanian.
Dalam arti
sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang
atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang
dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan
kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di sini menyangkut
program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah
sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis,
tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja, anak dan jompo terlantar.
Dengan
demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut
aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang
kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan
pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang
pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan
Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan
secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial
senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers,
1992).
Beberapa
ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan kebijakan sosial
dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial (Suharto, 1997).
Kebijakan
sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana
untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman,
1981).
Kebijakan
sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki
dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan
pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall,1965).
· Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk
mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatanpemerataan, dan pendistribusian
pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).
·
Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik
(public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari
pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan
keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih,
listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986).
b.
Pengertian Analisis Kebijakan Sosial
Analisis kebijakan (policy analysis) dapat dibedakan
dengan pembuatan atau pengembangan kebijakan (policy development). Analisis
kebijakan tidak mencakup pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan
datang. Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakn yang sudah
ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses
pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru.
Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun
pengembangan kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi
kebijakan. Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan
pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau perumusan
kebijakan yang baru.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa analisis
kebijakan sosial adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian
penjelasan (explanation) dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or
recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang telah
diterapkan. Penelaahan terhadap kebijakan sosial tersebut didasari oleh oleh
prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan sebagai
berikut:
1.
Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan
dari analisis yang dilakukan.
2.
Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai
kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai benar dan salah.
3.
Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin
keamanan dan stabilitas.
Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan
untuk menguji atau menelaah aspek-aspek kebijakan sosial yang meliputi:
1. Pernyataan masalah sosial yang direspon atau
ingin dipecahkan oleh kebijakan sosial.
2. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan
mana kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan.
3.
Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau
akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan
sosial.
Secara
sederhana, maka analisis kebijakan sosial dapat digambarkan kedalam Tabel 1
berikut ini:
2.
Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Proses perumusan kebijakan sosial dapat
dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: Tahap Identifikasi, tahap implementasi dan
tahap evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait:
Secara garis besar, tahapan perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut
(Suharto, 1997):
a. Tahap
Identifikasi
(1) Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap
pertama dalam perumusan kebijakan sosial adalah mengumpul-kan data mengenai
permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs).
(2) Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap
berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan
kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam
laporan yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa
penyebab masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul
apabila masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan
kelompok mana yang terkena masalah?
(3) Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan
laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian
disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu
kebijakan sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula
diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
(4) Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat
berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan
untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian
dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
(5) Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model
kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi
yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan
model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip
kebijakan sosial yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
(6) Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian
tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu
dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau
standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
(7) Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik:
Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang
telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan
kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai
kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai
kebijakan sosial yang akan diterapkan.
b. Tahap Implementasi
(8) Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang
sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan
beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
(9) Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan
utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan
program (program proposals) atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau
diterapkan kepada sasaran program.
c. Tahap Evaluasi
10. Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan
baik terhadap proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap
proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk
melihat keterpaduan antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan
sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap
hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana
kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini,
dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan masukan
bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan kebijakan baru.
3. Mekanisme
dan Isu-Isu Kebijakan Sosial
Untuk lebih memahami proses perumusan kebijakan
sosial, kiranya perlu ditelaah secara singkat mekanisme dan kerangka kerja
perumusan kebijakan sosial. Telaah ini akan membantu kita dalam memahami
peranan lembaga atau aktor yang terlibat dalam merumuskan kebijakan sosial
(Suharto, 1997)
Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam
proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan
tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara
yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial.
Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun
swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat
generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto,
1997)
a. Mekanisme Kebijakan Sosial
(1) Departemen pemerintahan. Sebagian besar
negara menyerahkan tanggungjawab mengenai perumusan kebijakan sosial kepada
kementrian, departemen atau lembaga-lembaga pemerintah yang berperan. Misalnya
Departemen Sosial di Indonesia merupakan salah satu departemen yang memiliki
kewenangan langsung dalam merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial. Di
Departemen Sosial, terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan penting
dalam kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan.
(2) Badan Perencanaan Nasional. Dalam konteks
pembangunan yang lebih luas, perumusan kebijakan sosial juga seringkali menjadi
tugas khusus dari Badan Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk
merumuskan dan sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial. Badan Perencanaan
Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus yang menangani berbagai
perencanaan sosial sekaligus perumusan kebijakan sosial dalam pembangunan
nasional. Kebijakan yang dihasilkan lembaga ini kemudian menjadi acuan bagi
departemen dan lembaga-lembaga terkait dalam melaksanakan berbagai program
pembangunan.
(3) Badan
legislatif. Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki
kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial. Lembaga ini biasanya memiliki
komisi khusus yang mengurusi perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan.
Misalnya, di Indonesia, DPR memiliki komisi khusus yang bertanggungjawab
mengatur urusan ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial.
(4)
Pemerintah Daerah dan Masyarakat Setempat. Di sejumlah negara di mana
administrasi pemerintahannya lebih terdesentralisasi, Pemerintah Daerah (PEMDA)
memiliki peran yang sangat penting dalam perumusan kebijakan sosial, khususnya
yang menyangkut persoalan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya.
Lebih-lebih lagi di negara-negara yang telah sangat matang menjalankan konsep
demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan kewenangan dalam mengungkapkan
aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi bagian dari tema-tema penting dalam
kebijakan sosial.
(5) Lembaga Swadaya Masyarakat. Peranan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) adalah
berbeda dalam setiap negara. Namun demikian, kini terdapat kecenderungan bahwa
di negara-negara berkembang, pemerintah semakin memberi peran yang leluasa
kepada sektor-sektor non pemerintahan untuk juga terlibat dalam perumusan
kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini terutama terjadi sejalan dengan rekomendasi
atau bahkan tekanan dari negara-negara donor yang memberi bantuan dan
konsultasi finansial kepada negara yang bersangkutan. Selain itu, kini semakin
disadari bahwa sebesar apapun pemerintah menguasai sumber-sumber ekonomi dan
sosial, tidaklah mungkin mampu memenuhi kebutuhan segenap lapisan masyarakat
secara memuaskan.
b. Isu-Isu kebijakan Sosial
Kebijakan sosial tidak dapat dilepaskan dari
proses dan dimensi pembangunan secara luas. Karenanya perlu ditelaah secara
singkat beberapa isu kebijakan sosial yang mungkin timbul dan perlu dipertimbangkan
dalam proses dan mekanisme perumusan kebijakan sosial (Suharto, 1997)
(1) Peran negara dan masyarakat. Walaupun pemerintah
memiliki peran yang besar dalam perumusan kebijakan sosial, tidaklah berarti
bahwa hanya pemerintah sajalah yang berhak menangani masalah ini. Seperti
dinyatakan dimuka, bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu memenuhi seluruh
kebutuhan warganya. Sebesar apapun sumber-sumber ekonomi-sosial yang
dimilikinya dan sehebat apapun kemampuan para pejabat dan aparatur pemerintah,
tetap membutuhkan peran masyarakat.. Oleh karena itu, perumusan kebijakan
sosial mensyaratkan adanya keseimbangan dan proporsionalitas dalam hal
pembagian peran dan kekuasaan pemerintah dan masyarakat.
(2) Perangkat Hukum dan Penerapannya. Perangkat hukum
memiliki kekuatan memaksa, melalui sangsi dan hukuman yang melekat di dalamnya.
Kebijakan sosial memerlukan perangkat hukum yang dapat mendukung diterapkannya
kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat berjalan secara efektif apabila
dinyatakan secara tegas melalui perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya. Namun demikian, adakalanya perangkat hukum yang sudah ada tidak
dapat diimplementasikan secara baik dalam kegiatan-kegiatan operasional, baik
dikarenakan oleh faktor manusianya, maupun kurang lengkapnya peraturan teknis
yang mengatur secara lebih rinci perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu,
perlu usaha keras agar terjamin adanya keselarasan antara perangkat hukum dan
implementasinya. Ketidak-konsistenan antara ‘dassein’ dan ‘dasollen’ akan
menimbulkan ketidak-percayaan masyarakat dan merosotnya citra lembaga-lembaga
pembuat kebijakan, yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis dan bahkan
antipati masyarakat kepada setiap produk kebijakan sosial.
(3) Koordinasi antar Lembaga. Seperti sudah dinyatakan di
muka, kebijakan sosial seringkali menjadi urusan berbagai departemen dan lembaga,
baik pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan
kerjasama antar lembaga tersebut agar kebijakan sosial tidak bersifat tumpang
tindih dan saling bertentangan satu sama lain.
(4) Sumber Daya Manusia. Aspek mengenai SDM ini menyangkut
jumlah dan kualitas para pembuat kebijakan yang akan diserahi tugas dalam
merumuskan kebijakan sosial. Meskipun kebijakan sosial, menyangkut ‘aspek
sosial’, tetapi dalam merumuskan kebijakan tersebut diperlukan sejumlah orang
yang memiliki beragam profesi dan latar belakang akademik tertentu. Oleh karena
itu, perumusan kebijakan harus memperhatikan kualifikasi SDM yang tepat. Selain
ahli-ahli sosial, perumusan kebijakan sosial seringkali membutuhkan pakar-pakar
ekonomi, hukum, dan bahkan ahli statistik.
(5) Pentingnya pelayanan sosial. Pentingnya pelayanan
sosial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan isu penting lainnya
yang perlu mendapat perhatian dalam kebijakan sosial. Isu ini terutama muncul
karena adanya kecenderungan pemerintah yang semakin menurunkan anggaran
belanjanya untuk kepentingan-kepentingan pelayanan sosial. Pelayanan sosial
pada dasarnya merupakan investasi sosial yang berkorelasi positif dengan
kualitas hidup masyarakat. Pengalaman penulis berkunjung ke Costa Rica menunjukkan
bahwa berkat kesigapan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya bagi
pelayanan sosial, kualitas hidup warga masyarakat negara tersebut sangat
memuaskan terutama bila dilihat dari indikator kualitas hidup (Human
Development Index), seperti angka harapan hidup, jumlah kematian bayi per 1000
kelahiran, dan bahkan pendapatan per kapitanya.
(6)
Penentuan prioritas pelayanan sosial. Di sebagian besar
negara berkembang keinginan untuk memperbaiki pelayanan sosial sangat besar,
namun demikian sumber dana untuk pengadaan pelayanan tersebut sangat terbatas
(Conyers, 1991). Ini berarti bahwa kebijakan sosial harus mampu diprioritaskan
terhadap pelayanan sosial yang benar-benar penting dan berdampak luas bagi
kesejahteraan masyarakat. Misalnya, apakah pelayanan sosial akan lebih
diprioritaskan untuk perawatan anak terlantar, para manula, para penyandang
cacat, rehabilitasi permukiman kumuh, atau peningkatan peran pemuda dan wanita.
(7)
Penentuan bentuk pelayanan sosial. Isu berikutnya berkaitan
dengan pertanyaan mengenai bentuk-bentuk pelayanan sosial apa yang cocok untuk
negara berkembang. Dewasa ini semakin disadari bahwa bentuk-bentuk dan standar
pelayanan di negara maju tidak dapat sepenuhnya diterapkan di negara
berkembang. Oleh karena itu, perlu diusahakan suatu bentuk pelayanan sosial
yang sesuai dengan kondisi setempat dan cocok ditinjau dari segi fisik,
ekonomi, sosial dan politik negara yang bersangkutan. Secara luas kita dapat
mengusulkan apakah pelayanan sosial akan berbentuk uang tunai (cash payment),
barang (benefit in kind), atau berupa bantuan konsultasi dan
pelatihan-pelatihan.
4.
Model-Model Analisis Kebijakan Sosial
Menurut Dunn (1991), analisis kebijakan adalah
ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi
untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah
sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang lingkup
dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai
sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan.
Menurut Quade (1982) analisis kebijakan adalah suatu
jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat
dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan
penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh
alternatif-alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat
bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap
isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang
telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat
pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan
berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak diterapkannya suatu
kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk
menghasilkan informasi dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan
yang berkaitan dengan;
a. Fakta-fakta;
b. Nilai-nilai; dan
c. Tindakan-tindakan
Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga model
pendekatan dalam analisis kebijakan sosial, yaitu:
a. Pendekatan Empiris;
b. Pendekatan Evaluatif; dan
c. Pendekatan Normatif.
Tabel 2 menunjukkan bagaimana ketiga pendekatan
tersebut beroperasi dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendasarinya
serta jenis-jenis informasi yang dihasilkannya.
Dalam kaitannya dengan tiga model tersebut, terdapat
empat prosedur analisis yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan analisis
kebijakan sosial:
a. Monitoring yang dapat menghasilkan informasi
deskriptif mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat kebijakan.
b. Peramalan yang dapat menghasilkan prediksi
atau informasi mengenai akibat-akibat kebijakan di masa depan.
c. Evaluasi yang dapat menghasilkan informasi
mengenai nilai atau harga dari dampak-dampak kebijakan yang telah lalu maupun
di masa datang.
d. Rekomendasi yang dapat memberikan preskripsi
atau informasi mengenai alternatif-alternatif atau kemungkinan-kemungkinan yang
ditimbulkan dari suatu kegiatan.
5. Merumuskan Masalah Kebijakan Sosial
Perumusan masalah kebijakan sosial adalah suatu proses
penyelidikan untuk mengumpulkan informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi
kebijakan sosial yang mempengaruhi kelompok sasaran. Perumusan masalah
kebijakan juga mencakup pencarian solusi-solusi terhadap dampak-dampak
kebijakan yang bersifat negatif.
Masalah-masalah kebijakan sosial secara umum memiliki
enam elemen, yaitu:
a. Masalah kebijakan. Informasi ini meliputi
argumen mengenai bukti-bukti pemasalahan, alternatif-alternatif kebijakan,
tindakan-tindakan kebijakan, hasil-hasil kebijakan, dan
keberhasilan-keberhasilan kebijakan.
b. Klaim kebijakan. Klaim kebijakan adalah kesimpulan-kesimpulan
mengenai argumen-argumen kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah harus
berinvestasi dalam bidang pendidikan atau mengeluarkan dana lebih besar lagi
bagi penanggulangan anak jalanan dsb.
c. Justifikasi atau pembenaran. Aspek ini
meliputi asumsi mengenai argumen kebijakan yang memungkinkan analisis kebijakan
untuk melangkah dari masalah kebijakan ke klaim kebijakan. Suatu asumsi bisa
mencakup informasi yang bersifat otoritatif, intuitif, analitis, kausal,
pragmatis maupun kritis.
d. Pendukung. Pendukung adalah
informasi-informasi yang dapat digunakan sebagai dasar yang mendukung
justifikasi. Pendukung dapat berupa hukum-hukum keilmuan, pendapat-pendapat
para ahli atau prinsip-prinsip etis dan moral.
e. Keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan.
Keberatan-keberatan adalah kesimpulan yang kedua atau argumen alternatif yang
menyatakan bahwa suatu kondisi tidak dapat diterima (ditolak) atau dapat
diterima dengan syarat-syarat tertentu.
f. Prasyarat. Aspek ini merupakan
kondisi-kondisi yang dapat meyakinkan atau menjadi dasar bagi analis kebijakan
untuk membenarkan klaim kebijakan. Dalam analisis kebijakan, prasyarat biasanya
dinyatakan dalam bahasa “kemungkinan” atau probabilitas. Misalnya, “kemungkinan
besar”, “kecenderungannya adalah” atau “pada taraf signifikansi 1 persen”.
Perumusan masalah kebijakan, tidak dapat dilakukan
begitu saja, melainkan harus memenuhi beberapa syarat agar dapat diterima
secara logis. Prasyarat tersebut meliputi:
a.
Perumusan masalah harus jelas atau tidak ambigu.
b.
Produk analisis harus terbaru (up-to-date).
c.
Produk analisis harus berharga atau bernilai (valuable).
d.
Proses analisis tidak bersifat konvensional, artinya menggunakan teknik-teknik
yang mutakhir.
e.
Proses analisis memiliki daya motivasi, berkesinambungan, berhubungan satu sama
lain dan komprehensif.
Teknik-teknik dalam perumusan masalah kebijakan:
a. Analisis Klasifikasi. Teknik ini dipergunakan
untuk memperjelas konsep yang digunakan dalam mendefinisikan situasi problematis.
Prinsip-prinsip dari sistem klasifikasi adalah:
(1)
Relevansi Substantif. Dasar klasifikasi harus dibangun menurut tujuan analisis
dan situasi problematis.
(2)
Ketuntasan. Dasar klasifikasi harus memiliki argumen yang tepat dan benar-benar
kuat.
(3)
Keterpilahan. Kategori-kategori harus benar-benar terpilah dan berdiri sendiri
agar tidak ada kelompok yang masuk dalam dua kategori.
(4)
Konsistensi. Kategori-kategori harus bersifat pasti atau tetap berdasarkan
sistem klasifikasi tunggal sehingga kesimpulan tidak bersipat tumpang tindih
atau mengalami “the fallacy of cross division” (kekeliruan dalam pembagian
silang).
(5)
Pembedaan hirarkis. Tingkat dalam sistem klasifikasi harus dapat dibedakan
secara jelas; mulai dari kategori, sub-kategi, sampai sub-sub kategori.
b. Analisis Hirarki. Teknik ini dipakai untu
menganalisis sebab-sebab yang mungkin dalam sistem permasalahan. Terdapat tiga
macam sebab yang perlu diperhatikan dalam analisi hirarki:
(1) Sebab
yang mungkin (possible cause).
(2) Sebab
yang masuk akal (plausible cause). Sebab ini didasari penelitian ilmiah atau
pengalaman langsung.
(3) Sebab
yang dapat dirubah (actionable cause) atau disebut pula sebab yang dapat
dikontrol dan dimanipulasi.
c.
Synectic. Teknik ini dilakukan untuk mengembangkan pengenalan masalah secara
analogis. Beberapa prinsip analogi meliputi:
(1) Analogi
personil. Analis berusaha membayangkan dirinya mengalami situasi-situasi
problematis sebagaimana dialami kelompok sasaran kebijakan.
(2) Analogi
langsung. Mencari hubungan serupa diantara 2 atau lebih situasi problematis.
(3) Analogi
simbolik. Menemukan contoh yang serupa dengan situasiproblematik dengan
menggunakan simbol-simbo.
(4) Analogi
fantasi. Secara bebas mencari kesamaan antara situasi problematis secra
khayali.
d.
Branstorming atau curah pendapat. Teknik memunculkan ide atau gagasan, tujuan
dan strategi-strategi tertentu dengan melibatkan banyak pihak dalam suatu forum
diskusi.
e.
Analisis Asumsi. Teknik untuk menciptakan sintesa (kesimpulan) kreatif atas
beberapa asumsi mengenai masalah-masalah kebijakan. Prosedur analisis asumsi
meliputi:
(1)
Identifikasi pelaku yang terlibat (stakeholder identification).
(2)
Pemunculan asumsi (assumption surfacing).
(3)
Pembenturan atau penentangan asumsi (assumption challenging).
(4)
Pengelompokan asumsi (asumption pooling).
(5) Sintesa
asumsi atau penyimpulan asumsi.